APAKABAR NEWS – Dalam dua dekade terakhir produksi migas nasional turun secara terus menerus, konsisten memburuk, produksi konsisten turun.
Tidak ada satu pihak yang dapat memberi jalan keluar. Semua pengurus hanya bisa menonton dan tidak dapat berbuat apa apa.
Sementara kebutuhan minyak nasional jelas meningkat. Solusinya satu kata impor.
Padahal biang kerok turunnya produksi migas tampak nyata di depan mata pemerintah. Apa itu?UU nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas.
Baca Juga:
Prabowo Sebut Muhammadiyah Luar Biasa, Punya 167 PT, 5.345 Sekolah dan Madrasah serta 440 Pesantren
UU ini berdampak buruk terhadap masalah kelembagaan yang serius, pengaturan yang tidak pasti dan ketidak nyamanan seluruh usaha di sektor hulu migas.
Lebih gawat lagi, UU Migas menyerahkan urusan produksi migas mulai pembuatan regulasi, melakukan pengawasan.
Hingga memungut uang dari pelaku usaha kepada suatu lembaga yang bernama Satuan Kerja Khusus (SKK) Migas.
Pertanyaannya apa masuk akal menyerahkan urusan sebesar ini kepada satuan kerja? Dari namanya saja sudah tidak relevan, isinya juga tidak kompeten mengurus masalah sebesar ini.
Baca Juga:
Koperasi Unit Desa Delima Sakti Gugat Balik LSM AJPLH, Tuntutannya Bayar Ganti Rugi Rp482 Miliar
Pilkada DKI Jakarta, Pasangan Pramono Anung – Rano Karno Sementara Unggul di Versi Quick Count
Rugikan Petani hingga Rp3,2 Triliun, 4 Produsen Pupuk Palsu dan 23 Produsen Pupuk Tak Sesuai Standar
Lembaga ini buatan Presiden SBY. sebagai usaha mensiasati dibubarkan Badan Hulu (BP) Migas oleh Mahkamah Konstitusi. Lembaga pensiasatan ini langgeng keberadaannya hingga saat ini.
UU migas itu sudah rusak dan berantakan. Sulit diharapkan sebagai sumber regulasi yang dapat menjadi pegangan.
Bayangkan sejak diundangkan pada tanggal 23 November 2001, UU Migas telah mengalami 4 kali pengujian di Mahkamah Konstitusi.
Kaena terdapat pasal-pasal yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD Tahun 1945, serta terdapat satu perkara yang ditolak MK dikarenakan persoalan legal standing.
Baca Juga:
Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan Langsung Angkat Bicara Soal Impor Beras 2025
Prabowo Subianto dan Raja Inggris Charles III Bicarakan Terkait Kerjasama Pelestarian Lingkungan
Dalam 3 (tiga) kali judicial review ada 16 pasal dari UU tersebut yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Yaitu melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003/ tentang Minyak dan Gas Bumi dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 tentang pembubaran BP Migas.
Secara garis besar materi yang dibatalkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terkait persoalan kelembagaan dan persoalan kontrak.
Dalam persoalan kelembagaan, kekuasaan pemerintah menjadi terbagi-bagi dan tidak efektif, tidak jarang terjadi tumpang tindih kewenangan antar lembaga.
Jika revisi UU migas No. 22 Tahun 2001 tak kunjung selesai akan berdampak pada nilai country risk menjadi tinggi dan mempengaruhi nilai investasi.
Seperti pemberian nilai IRR (Internal Rate of Return) dan adanya penyalahgunaan izin wilayah kerja serta pengembangan lapangan migas.
Langkah strategis yang perlu diambil pemerintah terkait UU migas, yaitu segera menyelesaikan revisi UU migas yang komprehensif khususnya yang menyangkut kelembagaan dan kontrak kerja.
Meskipun UU Migas yang sudah rusak ini ada di depan mata DPR, namun lembaga legislatif ini enggan melakukan revisi atau perubahan UU migas, tak seperti UU pemilu atau UU lain yang selalu dikebut.
Tampaknya ada yang menikmati ketidakpastian dan kerusakan dalam pengaturan di sektor migas.
Salah satu nikmat itu adalah impor migas, karena produksi nasional yang dapat dipastikan turun dengan UU ini.
Namun publik hanya tau bahwa Presiden Jokowi gagal menaikkan produksi migas nasional, di era pemerintahan Jokowi produksi migas terus merosot.
Sekarang mungkin tinggal 600 ribu barel sehari, lebih dari separuh kebutuhan nasional dipasok impor.
Apa yang sudah dilakukan pemerintah untuk atasi masalah? tidak ada!!
Sri Mulyani tidak menegur SKK migas atau lebih jauh tidak meminta Presiden Jokowi membubarkan SKK Migas dengan alasan penerimaan negara dari migas yang sangat krusial karena terus merosot.
Kalaupun DPR ngeyel, karena banyak pemain di sana, bukankan Presiden Jokowi keluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu), beres.
SKK Migas dibubarkan, alasannya negara sudah genting akibat UU migas yang rusak.
Komando sektor migas penuh di tangan Pemerintah, satu komando di migas. Piye Mas?
Opini: Salamuddin Daeng, Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)