Hallo Profesor Budi Susanto Purwokartiko, Menjadi Profesor Radikal Itu Berat, Biar Saya Saja

- Pewarta

Jumat, 6 Mei 2022 - 15:48 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Budi Santosa Purwokartiko menyebut orang memakai penutup kepala sebagai manusia gurun. (Dok. Website ITK)

Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Budi Santosa Purwokartiko menyebut orang memakai penutup kepala sebagai manusia gurun. (Dok. Website ITK)

APAKABAR NEWS – Menyandang jabatan akademik profesor atau guru
besar itu tidak ringan bebannya. Berat pertanggungjawabannya secara akademik keilmuwan.

Mengutip Pasal 49 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, berikut adalah sejumlah kewajiban dan wewenang dari seorang guru besar atau profesor:

(1) Profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi yang mempunyai kewenangan membimbing calon doktor;

(2) Profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat;

(3) Profesor yang memiliki karya ilmiah atau karya monumental lainnya yang sangat istimewa dalam bidangnya dan mendapat pengakuan internasional dapat diangkat menjadi profesor paripurna.

Sekali lagi, menjadi Profesor itu berat, soalnya bukan sekedar memiliki tanggungjawab intelektual melainkan juga tanggungjawab moral.

Bisa saja, profesor mengeluarkan teori “ndakik ndakik”, tetapi mahasiswa akan melihat itu hanyalah ‘Nato’ (No Action Talk Only) saat melihat Professor tak sejalan antara perkataan dan perilakunya.

Menjadi profesor apalagi profesor radikal, itu jauh lebih sulit lagi. Nalar kebenaran harus tunduk pada logika ilmu, bukan logika kekuasaan.

Saat terjadi benturan antara ilmu dan kekuasaan, profesor radikal harus memilih setia pada ilmu dan membersamainya dengan segala konsekuensinya, bukan mengabdi dan mengemis pada kekuasaan.

Akibatnya, kadangkala, bukan hanya dialienasi oleh kekuasaan bahkan rekan sejawat pendidik pun ikut menjauhi dirinya karena takut distigma dan terpapar radikal.

Bukan karena tak percaya pada nalar ilmu, tapi karena takut pada persekusi kekuasaan yang bisa setiap saat merampasnya capaian yang dirintis dengan ilmu selama puluhan tahun.

Menjadi Profesor radikal ini ibarat Guru yang memiliki kewajiban “digugu lan ditiru”. Bukan “wagu tur saru”.

Tetap menjaga dedikasi, berani membela kebenaran dan keadilan meskipun berisiko untuk dikriminalisasikan dan dipersekusi jabatannya.

Coba, nalar ilmu mana yang bisa dibenarkan, seorang profesor pengajar Pancasila plus Filsafat Pancasila hingga nyaris seperempat abad, dipersekusi jabatannya karena tuduhan anti Pancasila.

Naif bukan? Tapi itulah resiko menjadi Profesor radikal, harus siap kehilangan jabatan demi kesetiaan pada visi meruhanikan ilmu.

Menjadi garda kebenaran dan keadilan, walau harus terkoyak dan kehilangan jabatan.

Kalau hanya bermodal Rasisme, Islamphobia dan Xenophobia, malah mendapatkan jabatan, itu sih gampang sekali. Tidak perlu menjadi profesor, “Dilan” saja sanggup untuk melakoni semua itu.

Open Mind itu terbuka pada semua, bukan hanya kepada budaya dan tradisi Barat, melainkan juga pada budaya dan tradisi intelektual agama Islam, agamanya sendiri.

Ajaran Islam, telah terpatri menjadi kebiasaan yang bersumber dari dialektika intelektual dari sejumlah dalil, hingga mampu meng-istimbath hukum sebagai dasar pijakan amal.

Janganlah terlalu membanggakan Barat, tapi tidak bangga pada budaya dan tradisi intelektual agamanya sendiri.

Islam memiliki tradisi intelektual yang kokoh, dalam meng-istimbath dalil-dalil syar’i hingga sampai pada kesimpulan wajibnya menutup aurat bagi setiap muslimah, apapun statusnya, baik menjadi mahasiswi maupun bukan.

“Sing salah bakal seleh”, itu adalah peribahasa yang dapat diterapkan bagi setiap diri yang mampu menginsyafi kesalahan.

Bukan berapologi atau mengidentifikasi diri menjadi korban kejahatan, itu tidak layak, Tuan dan Puan.

Apalagi, standar Profesor itu lebih ketat. Tak ada yang menuntut seorang Profesor lebih dari yang lain, tetapi keinsyafan dirilah yang wajib menjadikan ‘wibawa gelar’ menjadi bintang pemandu (leitztern) dalam setiap langkah dan tutur.

Mulutmu harimaumu, adalah gambaran betapa pentingnya menjaga lisan dan betapa dahsyatnya bencana akibat kesalahan lisan.

Saya berempati atas apa yang menimpa Profesor Budi Susanto Purwokartiko (BSP). Saran saya, terima setiap takdir dari Allah SWT sebagai wujud keridhoan, fokus saja pada perbaikan diri.

Sebab sebanyak apapun klarifikasi dan pembelaan diri, tak akan diterima sebagai sebuah kebenaran, melainkan hanya akan dianggap sebagai dalih pembenar dan konfirmasi kesombongan.

Meski tak begitu saja dapat menghapus unsur pidananya, bulan ini adalah bulan Syawal dan sudah menjadi tradisi masyarakat di Indonesia pasca puasa untuk saling meminta maaf.

Jadi, sungguh mulia jika seseorang yang patut diduga telah berbuat dzalim kepada seseorang apalagi terhadap kaum muslimah yang disebut  sebagai “manusia gurun” secara sadar dan ikhlas meminta maaf.

Bukankah begitu, Puan dan Tuan?Tabik.

Opini: Prof Dr Pierre Suteki SH MHum, Universitas Diponegoro Semarang.***

 

Berita Terkait

Mensesneg Prasetyo Hadi Buka Suara Soal Rencana Perombakan Kabinet di Internal Kabinet Merah Putih
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri Ulang Tahun, Mensesneg Prasetyo Hadi Ucapkan Selamat HUT
Respons Titiek Soeharto Soal Kemungkinan Sikap Politik PDIP Bergabung ke Pemerintahan Prabowo
Keponakan Yusril Ihza Mahendra Terpilih Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang Periode 2025 – 2030
Soal Kans PDI Perjuangan Masuk di Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, Ini Tanggapan Partai Gerindra
Bukan Sikap Oposisi, PDIP Ungkap Sikapnya Terkait Hubungannya dengan Pemerintahan Prabowo Subianto
Puan Maharani Tanggapi Isu Pergantian Sekjen PDI Perjuangan, Usai Hasto Kristiyanto Tersangka KPK
Gugat Balik LSM AJPLH, KUD Delima Sakti Minta Polda Tangkap Amri Koto dan Bubarkan LSM AJPLH
Jasasiaranpers.com dan media online ini mendukung program manajemen reputasi melalui publikasi press release untuk institusi, organisasi dan merek/brand produk. Manajemen reputasi juga penting bagi kalangan birokrat, politisi, pengusaha, selebriti dan tokoh publik.

Berita Terkait

Kamis, 6 Februari 2025 - 17:47 WIB

Mensesneg Prasetyo Hadi Buka Suara Soal Rencana Perombakan Kabinet di Internal Kabinet Merah Putih

Sabtu, 25 Januari 2025 - 14:35 WIB

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri Ulang Tahun, Mensesneg Prasetyo Hadi Ucapkan Selamat HUT

Sabtu, 25 Januari 2025 - 14:10 WIB

Respons Titiek Soeharto Soal Kemungkinan Sikap Politik PDIP Bergabung ke Pemerintahan Prabowo

Rabu, 15 Januari 2025 - 15:04 WIB

Keponakan Yusril Ihza Mahendra Terpilih Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang Periode 2025 – 2030

Selasa, 14 Januari 2025 - 09:19 WIB

Soal Kans PDI Perjuangan Masuk di Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, Ini Tanggapan Partai Gerindra

Minggu, 12 Januari 2025 - 19:38 WIB

Bukan Sikap Oposisi, PDIP Ungkap Sikapnya Terkait Hubungannya dengan Pemerintahan Prabowo Subianto

Sabtu, 11 Januari 2025 - 13:47 WIB

Puan Maharani Tanggapi Isu Pergantian Sekjen PDI Perjuangan, Usai Hasto Kristiyanto Tersangka KPK

Minggu, 5 Januari 2025 - 12:04 WIB

Gugat Balik LSM AJPLH, KUD Delima Sakti Minta Polda Tangkap Amri Koto dan Bubarkan LSM AJPLH

Berita Terbaru